:: Ladang beramal bagi Donatur salurkan melalui Bank BNI Syari'ah Yogyakarta - Nomor : 0169782473 - a.n. Sudjito S.E. ::

Rabu, 20 Oktober 2010

Segera Berkorban Sebelum Menjadi Korban

Setiap tangal 10 Zulhijjah, ummat Islam seluruh dunia berkumpul untuk menjalankan ibadah shalat 'Idul Adha. Bersamaan dengan itu pula, kira-kira 2,5 juta saudara-saudara kita sedang memenuhi panggilan suci, menunaikan sebagian dari rukun haji yaitu berkumpul di padang Arafah melaksanakan wukuf. Kita yang belum berkesempatan memenuhi rukun iman ke-6 ini dianjurkan menjalankan shalat 'Idul Adha sebagai wujud "partisipasi spiritual" buat saudara-saudara kita yang sedang mempertaruhkan hidup-mati di tanah suci.

Jadi, shalat 'Idul Adha ini adalah wujud dari rasa syukur dan kepasrahan diri secara tulus-ikhlas atas karunia Allah SWT yang tak terhitung nilainya. Betapa tidak ? Allah SWT telah memberi kesempatan pada kita untuk menikmati kehidupan ini secara bebas dengan semua fasilitasnya, secara cuma-cuma. Di dalam shalat itu, kita mengungkapkan kebesaran Allah yang telah memberi anugerah, karunia, kenikmatan, keselamatan dan "sementara" terbebas dari bencana gempa bumi dan tsunami seperti saudara-saudara kita di Aceh dan Sumatera Utara. Karena itu, di hari sakral 'Idul Adha ini selayaknyalah kita mengucapkan takbir, tahlil dan tahmid sebagai salah satu ekspresi kearifan, kepasrahan, ketundukan dan ke-tawadzu'-kan kita di tengah maha karya Allah, alam semesta.
Secara terminologis, ied artinya rasa senang yang terus menerus atau kembali lagi. Sedangkan adha biasa diartikan korban. Karena itu, dua hari raya, Idul Adha dan Idul Fitri pada dasarnya adalah hari yang menyenangkan. Mengapa disebut menyenangkan? Karena, di hari Idul Adha ini, kita mampu menjalankan kewajiban, yaitu berkorban dengan menyembelih binatang ternak. Korban dalam hal ini, di samping bermakna sosiologis-ekonomis, yaitu wujud solidaritas kemanusiaan untuk memberi rasa senang kepada orang lain, juga yang paling prinsip adalah bermakna simbolik-spiritual, yaitu kita menyembelih atau membunuh sifat-sifat kehewanan, seperti tidak punya perasaan, kasar, mau menang sendiri, sombong dan sebagainya. Dengan demikian, dengan berkorban, berarti kita dapat merekonstruksi diri, mereformasi diri menjadi makhluk yang memiliki kesadaran diri secara utuh, pengaturan diri secara mantap, motivasi tinggi, empati dan keterampilan sosial yang efektif.
Karena itu, korban di hari Idul Adha ini sebenarnya menjadi kewajban, khususnya bagi orang-orang yang memiliki kecukupan ekonomi dan lebih utama lagi kecukupan kepasrahan dirinya kepada Allah SWT. Karena dengan ibadah korban itu, berarti mampu menunjukkan kapasitas diri dan harga diri, bahwa semua yang kita miliki, badan dengan seluruh anggotanya, keluarga, harta benda, jabatan, status sosial popularitas dan sebagainya, hanya sekedar instrumen kehidupan yang tidak berarti apa-apa. Karena itu, kita harus mampu mentransendensi diri untuk tidak terperangkap dengan semua itu, karena cepat atau lambat akan hilang dari kehidupan kita. Sebab, siapapun orangnya yang terperangkap dengan sesuatu yang material dan instrumental itu, maka cepat atau lambat ia akan terjebak pada kesenangan dan kenikmatan semu. Dan makhluk yang paling bodoh dan hina adalah makhluk yang "merasa cukup" dengan kesenangan dan kenikmatan semu itu.
Menyembelih korban seperti dituntukan Nabi IbrahimAS, menurut ajaaran Islam tidak sekedar untuk berpesta fora menikmati lezatnya daging dari sembelihan binatang korban itu. Tetapi, penyembelihan ini dimaksudkan untuk menunjukkan kesadaran, kesediaan dan keikhlasan agar kita mau secara tulus-ikhlas mengorbankan sisi-sisi material dan instrumental dalam kehidupan kita. Kita secara sadar mau mengorbankan kepentingan pribadi dan kepentingan sesaat, hanya semata-mata untuk mewujudkan kepentingan bersama, kepentingan kemanusiaan, seperti tersurat dalam ayat berikut:
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan daripada kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaua kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepadamu. Dan beri kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al Haj: 37)

Karena itu, berkorban di hari Idul Adha memiliki dimensi makna yang luar biasa dalam konteks hidup bersama dalam keluarga bangsa, negara ataupun dunia. Ikhlas dalam menalankan ibadah korban, benar-benar menjadi jalan bagi kita agar dapat menjadi makhluk yang bermartabat dan berkeadaban. Ini berarti bahwa dengan berkorban, secara langsung atau tidak langsung menjadi jalan yang akan mengantarkan kita pada keselamatan sejati dan menjauhkan kita dari segala bentuk bencana. Dalam konteks ini, maka berbagai bencana alam yang menimpa negri kita ini, dilihat dari sudut spiritual, tidak dapat dilepaskan dari kondisi obyektif kehidupan bangsa Indonesia dalam kesehariannya. Kita benar-benar perlu mawas diri, berkaca diri secara sungguh-sungguh, kemungkinan besar sementara bangsa ini belum mau berkorban secara tulus yang hanya mengarap ridha Allah SWT.
Kita prihatin, pejabat-pejabat tinggi kita masing-masing tidak mau mengorbankan ego kekuasaannya. Bahkan, ada sebagian dari mereka itu malah menyalahgunakan kekuasaannya untuk memenuhi nafsu kehewanannya. Bersamaan dengan itu, sebagian dari rakyat kita telah kehilangan kesabaran dengan melakukan anarhirsme sosial. Sebagian saudara-saudara kita, yang merasa tidak mampu menikmati kue pembangunan, tidak malu lagi mejadi pengemis, ada yang mengemis di perempatan-perempatan jalan kota, ada yang menyisir dari rumah ke rumah, ada yang di angkutan umum dan hampir semua aktivitas masyarakat kita, di situ ada pengemis.
Karena itu, perlu segera kita kembali kepada tuntunan korban dari Nabi Ibrahim AS. Kita perlu segera berkorban, sebelum menjadi "korban" yang sebenarnya. Kasihan saudara-saudara kita di Aceh dan sebagian Sumatera Barat. Mereka, di akhir tahun 2004 ini menjadi "tumbal" dari episode cerita perjalanan anak bangsa, bernama Indonesia. Mereka menjadi "korban" dari kepongahan para elite bangsa ini dan dari perilaku nista sebagian rakyat bangsa ini.
"Korban" dari bencana seperti di Aceh ini, akibatnya bukan hanya meluluh lantakkan bangunan dan lingkungan fisik yang telah dibangun megah selama bertahun-tahun. Tetapi lebih dari itu, tatanan sosial-budaya masyarakat Aceh juga porak poranda. Banyak anggota keluarga yang tewas tak tahu rimbanya. Ribuan anak-anak yang tidak lagi memiliki orang tua tempat tumbuhnya benih-benih kasih sayang, sopan-santun, pengetahuan dan pelita bagi masa depannya. Kesemua ini, lebih jauh akan beimplikasi pada berubahnya tatanan konsep keluarga, konsep hukum waris, dan sebagainya.
Karena itu, peristiwa gempa bumi, banjir, tanah longsor dan berbagai bencana lain yang bisa menjungkir balikkan tata sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kekerabatan, lingkungan dan semua dimensi kehidupan lainnya patut menjadi pelajaran nyata buat kita dan masyarakat sejagat raya pada umumnya. Berapa beratnya berkorban menyembelih kambing atau sapi bagi orang yang berpenghasilan di tiga juta atau lebih per-bulannya. Padahal harga kambing rata-rata tidak lebih dari 700-an ribu per ekor. Demikian jga, harga rata-rata sapi yang ideal untuk korban sekitar tujuh sampai sembilan jutaan per ekor, itupun bisa ditanggung bersama. Kecuali bagi masyarakat kita yang penghasilannya di bawah satu juta per bulan, belum bisa menjalankan ibadah korban bisa dimaklumi.
Ini berarti bahwa, berkorban itu sebenarnya bukan sekedar bersifat ekonomis semata, tetapi lebih bersifat spiritual. Sama hanyalnya dengan ibadah haji. Artinya, bahwa kesadaran untuk berkorban atau beribadah haji itu tidak sekedar mampu secara ekonomi, tetapi yang lebih penting adalah mampu secara spiritual, yaitu memiliki kesadaran ke-Illahi-an yang tinggi, kemanusiaan dan masa depan. Bagi orang yang dalam kehidupannya mampu melampau dimensi material dan instumental, tidak lagi mementingkan harta benda, jabatan, popularitas dan sejenisnya, maka ia tidak berat lagi menjalankan ibadah korban atua ibadah-ibadah lainnya yang memiliki dimensi vertikal maupun horisontal.
Karena itu, agar hidup selamat dalam ridha Allah ini prinsipnya sebenarnya sederhana, yaitu berkorban dalam arti ritual seperti di hari Idul Adha, atau berkorban dalam pengertian umum (sosial), yaitu selalu berorientasi pada kemaslahatan sesamanya. Sayangnya, masyarakat kita, umumnya mau berkorban setalah menjadi "korban". Berbagai mecam jenis bencana yang dapat menimbulkan korban, bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Karena Allah, ketika menimpakan sesuatu bencana, baik sebagai ujian, peringatan, atau azab ini tidak pandang bulu. Siapapun manusianya, entah itu pejabat tinggi, birokrat, ilmuwan, kaya-miskin, petani, rakyat jelata dan sebagainya dapat menjadi "korban" bencana.
Peringatan Allah pada surat Al-Kautsar, surat terpendek dalam Al-Qur'an patut kita renungkan dalam-dalam, "Sesungguhnya Kami (Allah) telah memberi nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah". (QS. Al Kautsar: 1-2). Dalam hal ini, berkorban adalah bagian integral dari ritme kehidupan semua makhluk, khususnya manusia, sebagai ciptaan yang paling sempurna struktur kemakhlukannya, dibanding makhluk-makhluk Allah lainnya. Berkorban dalam hidup adalah bagian dari hukum alam (sunnatullah) yang tidak bisa tidak harus dapat dilakukan secara ikhlas. Ini berarti siapapun manusianya yang tidak mau berkorban, akan terkena akibatnya. Apa akibat yang akan ditanggungnya? Hanya Allah yang Maha Tahu, karena Dia-lah pemegang otoritas manajemen sunatullah ini.
Akhirnya, bersamaan dengan perayaan Idul Adha di awal tahun 2005 ini, ada baiknya kita mengamalkan doa Nabi Ibrahim, sebagai sumber otentik ibadah korban:
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur" (QS. Ibrahim: 37).

Doa ini, benar-benar memiliki makna dan dimensi yang sangat mendalam dalam kehidupan nyata. Ada dimensi spiritual (shalat-Baitullah), dimensi ekologis (lembah), dimensi lingkungan (tanam-tanaman), dimensi ekonomi-produktif (buah-buahan), dimensi kema'rifatan (syukur) dan sebagainya. Idul Adha tahun ini sangat monumental, karena bersamaan dengan memulai lembaran tahun 2005. Karena itu, semoga kita dapat membangun semua dimensi itu secara sinergis, minimal dalam pribadi kita, dan lebih luas lagi bagi kehidupan berbangsa dan kemanusiaan. Insya Allah.

2 komentar:

Dhidhit-Shima mengatakan...

Pak, mbok isi blog di update, setiap ada kegiatan di posting di blog ini

Admin mengatakan...

Isi blog terbuka untus semua warga, dipersilahkan menjadi kontributor materi (posting) berbagai kegiatan maupun pengembangan di Perumahan

Posting Komentar