:: Ladang beramal bagi Donatur salurkan melalui Bank BNI Syari'ah Yogyakarta - Nomor : 0169782473 - a.n. Sudjito S.E. ::

Rabu, 20 Oktober 2010

Segera Berkorban Sebelum Menjadi Korban

Setiap tangal 10 Zulhijjah, ummat Islam seluruh dunia berkumpul untuk menjalankan ibadah shalat 'Idul Adha. Bersamaan dengan itu pula, kira-kira 2,5 juta saudara-saudara kita sedang memenuhi panggilan suci, menunaikan sebagian dari rukun haji yaitu berkumpul di padang Arafah melaksanakan wukuf. Kita yang belum berkesempatan memenuhi rukun iman ke-6 ini dianjurkan menjalankan shalat 'Idul Adha sebagai wujud "partisipasi spiritual" buat saudara-saudara kita yang sedang mempertaruhkan hidup-mati di tanah suci.

Jadi, shalat 'Idul Adha ini adalah wujud dari rasa syukur dan kepasrahan diri secara tulus-ikhlas atas karunia Allah SWT yang tak terhitung nilainya. Betapa tidak ? Allah SWT telah memberi kesempatan pada kita untuk menikmati kehidupan ini secara bebas dengan semua fasilitasnya, secara cuma-cuma. Di dalam shalat itu, kita mengungkapkan kebesaran Allah yang telah memberi anugerah, karunia, kenikmatan, keselamatan dan "sementara" terbebas dari bencana gempa bumi dan tsunami seperti saudara-saudara kita di Aceh dan Sumatera Utara. Karena itu, di hari sakral 'Idul Adha ini selayaknyalah kita mengucapkan takbir, tahlil dan tahmid sebagai salah satu ekspresi kearifan, kepasrahan, ketundukan dan ke-tawadzu'-kan kita di tengah maha karya Allah, alam semesta.
Secara terminologis, ied artinya rasa senang yang terus menerus atau kembali lagi. Sedangkan adha biasa diartikan korban. Karena itu, dua hari raya, Idul Adha dan Idul Fitri pada dasarnya adalah hari yang menyenangkan. Mengapa disebut menyenangkan? Karena, di hari Idul Adha ini, kita mampu menjalankan kewajiban, yaitu berkorban dengan menyembelih binatang ternak. Korban dalam hal ini, di samping bermakna sosiologis-ekonomis, yaitu wujud solidaritas kemanusiaan untuk memberi rasa senang kepada orang lain, juga yang paling prinsip adalah bermakna simbolik-spiritual, yaitu kita menyembelih atau membunuh sifat-sifat kehewanan, seperti tidak punya perasaan, kasar, mau menang sendiri, sombong dan sebagainya. Dengan demikian, dengan berkorban, berarti kita dapat merekonstruksi diri, mereformasi diri menjadi makhluk yang memiliki kesadaran diri secara utuh, pengaturan diri secara mantap, motivasi tinggi, empati dan keterampilan sosial yang efektif.
Karena itu, korban di hari Idul Adha ini sebenarnya menjadi kewajban, khususnya bagi orang-orang yang memiliki kecukupan ekonomi dan lebih utama lagi kecukupan kepasrahan dirinya kepada Allah SWT. Karena dengan ibadah korban itu, berarti mampu menunjukkan kapasitas diri dan harga diri, bahwa semua yang kita miliki, badan dengan seluruh anggotanya, keluarga, harta benda, jabatan, status sosial popularitas dan sebagainya, hanya sekedar instrumen kehidupan yang tidak berarti apa-apa. Karena itu, kita harus mampu mentransendensi diri untuk tidak terperangkap dengan semua itu, karena cepat atau lambat akan hilang dari kehidupan kita. Sebab, siapapun orangnya yang terperangkap dengan sesuatu yang material dan instrumental itu, maka cepat atau lambat ia akan terjebak pada kesenangan dan kenikmatan semu. Dan makhluk yang paling bodoh dan hina adalah makhluk yang "merasa cukup" dengan kesenangan dan kenikmatan semu itu.
Menyembelih korban seperti dituntukan Nabi IbrahimAS, menurut ajaaran Islam tidak sekedar untuk berpesta fora menikmati lezatnya daging dari sembelihan binatang korban itu. Tetapi, penyembelihan ini dimaksudkan untuk menunjukkan kesadaran, kesediaan dan keikhlasan agar kita mau secara tulus-ikhlas mengorbankan sisi-sisi material dan instrumental dalam kehidupan kita. Kita secara sadar mau mengorbankan kepentingan pribadi dan kepentingan sesaat, hanya semata-mata untuk mewujudkan kepentingan bersama, kepentingan kemanusiaan, seperti tersurat dalam ayat berikut:
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan daripada kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaua kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepadamu. Dan beri kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al Haj: 37)

Karena itu, berkorban di hari Idul Adha memiliki dimensi makna yang luar biasa dalam konteks hidup bersama dalam keluarga bangsa, negara ataupun dunia. Ikhlas dalam menalankan ibadah korban, benar-benar menjadi jalan bagi kita agar dapat menjadi makhluk yang bermartabat dan berkeadaban. Ini berarti bahwa dengan berkorban, secara langsung atau tidak langsung menjadi jalan yang akan mengantarkan kita pada keselamatan sejati dan menjauhkan kita dari segala bentuk bencana. Dalam konteks ini, maka berbagai bencana alam yang menimpa negri kita ini, dilihat dari sudut spiritual, tidak dapat dilepaskan dari kondisi obyektif kehidupan bangsa Indonesia dalam kesehariannya. Kita benar-benar perlu mawas diri, berkaca diri secara sungguh-sungguh, kemungkinan besar sementara bangsa ini belum mau berkorban secara tulus yang hanya mengarap ridha Allah SWT.
Kita prihatin, pejabat-pejabat tinggi kita masing-masing tidak mau mengorbankan ego kekuasaannya. Bahkan, ada sebagian dari mereka itu malah menyalahgunakan kekuasaannya untuk memenuhi nafsu kehewanannya. Bersamaan dengan itu, sebagian dari rakyat kita telah kehilangan kesabaran dengan melakukan anarhirsme sosial. Sebagian saudara-saudara kita, yang merasa tidak mampu menikmati kue pembangunan, tidak malu lagi mejadi pengemis, ada yang mengemis di perempatan-perempatan jalan kota, ada yang menyisir dari rumah ke rumah, ada yang di angkutan umum dan hampir semua aktivitas masyarakat kita, di situ ada pengemis.
Karena itu, perlu segera kita kembali kepada tuntunan korban dari Nabi Ibrahim AS. Kita perlu segera berkorban, sebelum menjadi "korban" yang sebenarnya. Kasihan saudara-saudara kita di Aceh dan sebagian Sumatera Barat. Mereka, di akhir tahun 2004 ini menjadi "tumbal" dari episode cerita perjalanan anak bangsa, bernama Indonesia. Mereka menjadi "korban" dari kepongahan para elite bangsa ini dan dari perilaku nista sebagian rakyat bangsa ini.
"Korban" dari bencana seperti di Aceh ini, akibatnya bukan hanya meluluh lantakkan bangunan dan lingkungan fisik yang telah dibangun megah selama bertahun-tahun. Tetapi lebih dari itu, tatanan sosial-budaya masyarakat Aceh juga porak poranda. Banyak anggota keluarga yang tewas tak tahu rimbanya. Ribuan anak-anak yang tidak lagi memiliki orang tua tempat tumbuhnya benih-benih kasih sayang, sopan-santun, pengetahuan dan pelita bagi masa depannya. Kesemua ini, lebih jauh akan beimplikasi pada berubahnya tatanan konsep keluarga, konsep hukum waris, dan sebagainya.
Karena itu, peristiwa gempa bumi, banjir, tanah longsor dan berbagai bencana lain yang bisa menjungkir balikkan tata sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kekerabatan, lingkungan dan semua dimensi kehidupan lainnya patut menjadi pelajaran nyata buat kita dan masyarakat sejagat raya pada umumnya. Berapa beratnya berkorban menyembelih kambing atau sapi bagi orang yang berpenghasilan di tiga juta atau lebih per-bulannya. Padahal harga kambing rata-rata tidak lebih dari 700-an ribu per ekor. Demikian jga, harga rata-rata sapi yang ideal untuk korban sekitar tujuh sampai sembilan jutaan per ekor, itupun bisa ditanggung bersama. Kecuali bagi masyarakat kita yang penghasilannya di bawah satu juta per bulan, belum bisa menjalankan ibadah korban bisa dimaklumi.
Ini berarti bahwa, berkorban itu sebenarnya bukan sekedar bersifat ekonomis semata, tetapi lebih bersifat spiritual. Sama hanyalnya dengan ibadah haji. Artinya, bahwa kesadaran untuk berkorban atau beribadah haji itu tidak sekedar mampu secara ekonomi, tetapi yang lebih penting adalah mampu secara spiritual, yaitu memiliki kesadaran ke-Illahi-an yang tinggi, kemanusiaan dan masa depan. Bagi orang yang dalam kehidupannya mampu melampau dimensi material dan instumental, tidak lagi mementingkan harta benda, jabatan, popularitas dan sejenisnya, maka ia tidak berat lagi menjalankan ibadah korban atua ibadah-ibadah lainnya yang memiliki dimensi vertikal maupun horisontal.
Karena itu, agar hidup selamat dalam ridha Allah ini prinsipnya sebenarnya sederhana, yaitu berkorban dalam arti ritual seperti di hari Idul Adha, atau berkorban dalam pengertian umum (sosial), yaitu selalu berorientasi pada kemaslahatan sesamanya. Sayangnya, masyarakat kita, umumnya mau berkorban setalah menjadi "korban". Berbagai mecam jenis bencana yang dapat menimbulkan korban, bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Karena Allah, ketika menimpakan sesuatu bencana, baik sebagai ujian, peringatan, atau azab ini tidak pandang bulu. Siapapun manusianya, entah itu pejabat tinggi, birokrat, ilmuwan, kaya-miskin, petani, rakyat jelata dan sebagainya dapat menjadi "korban" bencana.
Peringatan Allah pada surat Al-Kautsar, surat terpendek dalam Al-Qur'an patut kita renungkan dalam-dalam, "Sesungguhnya Kami (Allah) telah memberi nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah". (QS. Al Kautsar: 1-2). Dalam hal ini, berkorban adalah bagian integral dari ritme kehidupan semua makhluk, khususnya manusia, sebagai ciptaan yang paling sempurna struktur kemakhlukannya, dibanding makhluk-makhluk Allah lainnya. Berkorban dalam hidup adalah bagian dari hukum alam (sunnatullah) yang tidak bisa tidak harus dapat dilakukan secara ikhlas. Ini berarti siapapun manusianya yang tidak mau berkorban, akan terkena akibatnya. Apa akibat yang akan ditanggungnya? Hanya Allah yang Maha Tahu, karena Dia-lah pemegang otoritas manajemen sunatullah ini.
Akhirnya, bersamaan dengan perayaan Idul Adha di awal tahun 2005 ini, ada baiknya kita mengamalkan doa Nabi Ibrahim, sebagai sumber otentik ibadah korban:
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur" (QS. Ibrahim: 37).

Doa ini, benar-benar memiliki makna dan dimensi yang sangat mendalam dalam kehidupan nyata. Ada dimensi spiritual (shalat-Baitullah), dimensi ekologis (lembah), dimensi lingkungan (tanam-tanaman), dimensi ekonomi-produktif (buah-buahan), dimensi kema'rifatan (syukur) dan sebagainya. Idul Adha tahun ini sangat monumental, karena bersamaan dengan memulai lembaran tahun 2005. Karena itu, semoga kita dapat membangun semua dimensi itu secara sinergis, minimal dalam pribadi kita, dan lebih luas lagi bagi kehidupan berbangsa dan kemanusiaan. Insya Allah.

[+/-] Selengkapnya.....

Jumat, 20 Agustus 2010

Puasa dan Kebersamaan

Bulan Ramadhan bagi umat Islam, termasuk bagi warga masyarakat muslim Yogyakarta merupakan bulan yang spesial. Di samping kita menjalankan kewajiban ibadah puasa dan berbagai rangkaian ibadah lainnya selama satu bulan, juga di bulan Ramadhan ini kita bisa sekaligus menyegarkan kembali rasa kebersamaan dan persaudaraan di kalangan semua warga masyarakat. Sebab, di bulan Ramadhan ini, sebagian besar atau bahkan hampir semua ummat Islam termobilisasi oleh semangat Ramadhan setiap hari berduyun-berduyun pergi ke masjid, musholla atau tempat-tempat lainnya untuk menjalankan ibadah sholat lima waktu, sholat tawarih, berbuka puasa bersama dan berbagai kegiatan Ramadhan lainnya. Sungguh di bulan Ramadhan ini kita benar-benar menyaksikan semangat kebersamaan yang luar biasa dalam berbagai pelaksanaan kegiatan menyemarakkan bulan penuh berkah ini.
Latihan Disiplin Rohani dan Akhlak
Puasa ramadhan merupakan ibadah ritual yang dilakukan dengan aturan yang permanen, yaitu dengan menahan makan, minum, emosi, syahwat dan segala sesuatu yang bisa membatalkannya, sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Aturan yang permanen ini, tujuan utamanya adalah untuk melatih disiplin jasmani, rohani dan akhlak. Relevan dengan maksud itu, Rasulullah SAW bersabda :
"Puasa adalah perisai, maka dari itu orang yang sedang puasa janganlah berbicara kotor...dan sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum bagi Allah daripada minyak kesturi; ia berpantang makan, minum dan syahwat hanya untuk mencari ridha-Ku; puasa hanyalah untuk-Ku." (HR.Bukhari).

Berpantang makan dan minum pada saat orang biasa melak¬ukannya sehari-hari dan dilakukan dengan berulang-ulang (teratur) selama sebulan, di satu sisi dapat meningkatkan kekuatan dan memperlancar alat pencernaan tubuh. Sementara di sisi lain, puasa juga menjadi media pelatihan bagi kita untuk dapat menghadapi berbagai tantangan atau bahkan kesukaran hidup. Dengan begitu, jiwa dan mentalitas kita akan benar-benar terlatih dan memiliki daya resistensi yang tinggi terhadap tantangan dari dalam ataupun luar. Karena itu, orang yang ber¬puasa akan selalu siap menghadapi hidup dalam kondisi atau situasi apapun, tanpa harus mengalami gangguan psikologis (psicological shock). Karena itulah, maka proses hidup orang yang berpuasa akan selalu stabil emosi keagamaannya, etos kerjanya, produktifitas karya dan daya kreatif-inovatifnya.
Di samping itu, bagi orang yang berpuasa, tidak ada godaan yang paling besar daripada godaan makan, minum dan syah¬wat, apabila ketiganya telah tersedia. Namun demikian, betapapun dahsyatnya godaan itu, tetap mampu diatasinya dengan sabar dan penuh keimanan. Usaha untuk mengatasi godaan semacam itu yang dilakukan tidak hanya sekali atau dua kali, tetapi secara terus-menerus selama satu bulan, benar-benar akan melahirkan kesadaran dan kemampuan untuk menjaga kontinuitas dalam mengatasi berbagai godaan hidup sehari-hari. Lebih dari itu, kemampuan mengatasi godaan itu tanpa didasari oleh interest yang bersifat ekonomis, psikologis atau biologis belaka, tetapi semata-mata hanya untuk meraih ridha Allah SWT.
Di saat panas terik membakar bumi, lapar dan dahaga menyertai aktivitas pekerjaan sepanjang hari, dan walaupun makanan lezat serta minuman segar misalnya, telah tersedia, tetapi kita tetap menahan diri, tidak mau menyentuh makanan dan minuman sedikitpun. Sebab pada saat-saat kritis seperti itu, kita kesadaran diri yang mucul adalah, "Allah ada di sampingkudan Allah melihatku".
Karena itu, tidak ada ibadah yang mampu menumbuhkan perasaan dekat kepada Allah, selain ibadah puasa. Kehadiran Allah dalam diri orang yang berpuasa, tidak saja berada pada tingkat iman saja, tetapi telah menjadi realitas dalam kesadaran kemanusiaanya. Itulah hakekat dari disiplin rohani dan akhlak tingkat tinggi. Artinya bahwa kesadaran akan adanya hidup yang lebih tinggi, lebih tinggi daripada hidup yang hanya untuk makan dan minum atau mengumbar nafsu syahwat belaka.
Ini artinya bahwa dengan puasa, kita dapat menaklukkan nafsu jasmani¬. Dan dengan terbiasa mengatur waktu makan atau minum, juga dapat menumbuhkan kedisiplinan hidup. Lebih tinggi dari itu, dengan puasa kita bukan lagi menjadi budak nafsu makan, minum atau syahwat, melainkan kita itu benar-benar menjadi majikan yang sesungguhnya-menjadi pribadi yang otentik, pribadi yang original – bukan pribadi yang palsu atau tiruan.

Komitmen Kebersamaan Menuju Taqwa
Puasa, disamping ibadah yang bersifat individual, tetapi juga kental dimensi sosialnya. Bahwa puasa itu dapat mengingatkan umat warga masyarakat agar memelihara kesatuan, kerukunan, dan kekompakan serta meminimalisasi terjadinya perpecahan. Kebersamaan yang tercermin pada saat melaksanakan ibadah puasa dan berlebaran terjalin sebagai upaya untuk merajut dan menjalin persatuan karena hal tersebut dapat mendatangkan rahmat dan berkah.). Saat puasadi bulan Ramadhan ini, seluruh keluarga berkumpul dan melakukan buka puasa bersama, sahur, dan melaksanakan shalat Tarawih. Anak-anak maupun orang dewasa dapat bertemu dan berkumpul berkumpul di masjid untuk beribadah.
Itulah bagian dari fenomena sosial Ramadhan, bahwa di bulan Ramadhan ini, mobilitas social warga masyarakat terjadi peningkatan yang luar biasa. Hampir semua masjid dan musholla di Kota Yogyakarta ini penuh sesak oleh jamaah. Ini artinya bahwa bulan Ramadhan ini menjadi bulan yang sangat tepat untuk menyegarkan kembali komitmen kebersamaan sesame warga Negara, sesame keluarga besar umat Islam. Hal ini relevan dengan konsep puasa yang dapat diproyeksikan mengembangkan disiplin rohani dan akhlak yang tinggi. Kemudian implementasinya, puasa dapat mendorong kesadaran dan kemauan kuat bahwa kita adalah bagian inte¬gral dari komunitas masyarakat yang plural budayanya, status sosialnya, tingkat ekonominya, pendidikannya dan sebagai¬nya. Karena itu, setiap diri pribadi dituntut memiliki sikap terbuka untuk mengakomodasi pluralitas masyarakat sebagai realitas sosial yang tidak bisa dinafikan. Konsekuensinya, kesadaran untuk saling berkomunikasi atas dasar persamaan dan persaudaraan sebagai satu keluarga agung – makhluk Allah - menjadi tuntutan mutlak bagi tercip¬tanya tata sosial yang harmonis, dinamis dan progresif. Bagi kita yang telah memiliki disiplin rohani dan akhlak tingkat tinggi, yang dicapainya melalui puasa, maka selalu siap untuk menerima orang lain sekalipun berbeda budaya, bahasa, kebiasaan, status sosial dan sebagainya.
Itulah wujud bahwa puasa dapat menumbuhkan energi positif untuk membangun kebersamaan atas dasar persaudaraan. Itulah makna sebenarnya dari konsep shilaturrahim. Bahwa shilaturrahim ini merupakan nilai agung yang mendasari tata sosial yang dinamis dan harmonis, sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - : أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَكْرَمِ أَخْلاَقِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ؟ تَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ وَتُعْطِى مَنْ حَرَمَكَ وَتَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ


"Nabi saw bersabda : Maukah kalian aku tunjukkan akhlak yang paling mulia di dunia dan diakhirat? Memberi maaf orang yang mendzalimimu, memberi orang yang menghalangimu dan menyambung silaturrahim orang yang memutuskanmu” (HR. Baihaqi)


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ


"Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan” (H.R. Bukhari-Muslim).

Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan saum?” Sahabat menjawab, “Tentu saja!” Rasulullah pun kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu) adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan” (H.R. Bukhari-Muslim).

Demikinalah, puasa Ramadhan tahun 1431 H ini seharusnya memang dapat menjadi momentum meneguhkan kebersamaan sesame warga Yogyakarta khususnya, sebagai bagian dari implementasi peningkatan taqwa kepada Allah SWT. Semoga puasa dan seluruh rangkaian ibadah yang kita lakukan diterima Allah SWT dan kita dapat lebih menjadi pribadi yang otentik, pribadi yang selalu tulus untuk membangun kebersamaan dalam membangun masyarakat yang berbudaya maju dan berkeadilan sosial, amiin.

[+/-] Selengkapnya.....

Minggu, 01 Agustus 2010

Pertemuan Agung

Ramadlan kembali hadir. Seluruh warga masyarakat hanyut dalam pertemuan agung yang membawa berkah untuk seisi alam. Benar-benar luar biasa – spanduk “selamat datang” terpampang dimana-mana. Semuanya mengelu-elukan kehadiran bulan seribu bulan itu. Semuanya penuh harap akan mendapat kesempatan mendapat tetesan kemulyaan, kehormatan dan keagungan dari bulan yang penuh rahmat, ampunan dan pembebasan.

Tak terasa setahun telah berlalu. Kehadiran Ramadlan menyadarkan kita untuk membuka kembali lembaran-lembaran hidup selama setahun ini. Alhamdulillah, mungkin ada sebagian di antara kita yang telah memiliki cacatan sejarah baru. Ramadlan tahun ini akan dilewati dalam suasana baru; dapat menikmati rumah baru, tetangga baru, jabatan baru, status baru, mobil atau motor baru, anggota keluarga baru, pemimpin baru, dan semuanya mungkin serba baru.
Namun demikian, kemungkinan ada juga sebagian di antara kita yang nasibnya belum beranjak dari posisi setahun lalu, alias nasib hidupnya masih tetap sama dengan saat pertemuan Ramadlan tahun lalu. Mereka masih harus bersabar, karena rumah tinggal masih harus kontrak, gaji pekerjaan masih tetap sama atau bahkan ada sebagian yang masih menjadi pengangguran, ekonomi keluarga tetap sulit, pendidikan anak-anak masih tersendat-sendat, dan sebagainya. Atau bahkan Ramadlan tahun ini justru kita harus menghadapi hidup keluarga yang kian berat; harga BBM naik, semua kebutuhan pokok seperti beras, gula, minyak dan lain-lain kian membumbung tinggi tak terkendali, biaya transportasi kian mahal, persaingan mendapatkan pekerjaan semakin keras dan entah jeritan apa lagi yang telah menghadang langkah hidup mereka. Inilah hidup. Pertemuan agung yang sama, tetapi memberikan aura yang berbeda. Ada sebagian di antara kita yang dapat tersenyum lebar dan ada juga yang semakin kecut – terjerat oleh kesulitan hidup yang entah sampai kapan akan berakhir.
Sungguh suatu perjalanan sejarah kemanusiaan yang luar biasa. Tamu agung Ramadlan sejak zaman Nabi sampai sekarang sebenarnya tetap sama, yaitu membawa berkah bagi seisi alam. Allah SWT selalu meneteskan rahmat, ampunan dan pembebasan melalui Ramadlan ini.
Namun demikian, mengapa tiga keagungan yang dibawa bulan Ramadlan, yaitu; rahmat, ampunan dan pembebasan belum juga dapat merubah nasib hidup sebagian di antara keluarga kita? Hidup tetap miskin, dijerat hutang, dipepet kebutuhan ini dan itu. Kenaikan harga berbagai jenis kebutuhan pokok, seperti; beras, minyak goreng, dan sebagainya yang telah berjalan beberapa bulan ini benar-benar akan menjadi tantangan berat bagi kita dalam menjalankan ibadah puasa.
Dalam menjalankan prosesi ibadah puasa, di satu sisi, diperlukan hati yang tenang dan khusyuk agar puasa yang dilakukan itu benar-benar berkualitas. Tetapi di sisi lain, himpitan berbagai persoalan hidup yang semamin berat, tentu akan sulit bagi kita untuk menghindar dari perasaan sedih, menderita, mengumpat, bahkan dendam dan sebagainya, yang semuanya itu dapat mengurangi kualitas puasa yang kita lakukan.
Tetapi, itulah kenyataan hidup. Apapun keadaannya harus kita hadapi dan alami. Yang pasti bahwa Ramadlan tahun ini tetap sama seperti dulu, yaitu menawarkan rahmat, berkah, ampunan dan pembebasan bagi siapa saja yang memulyakan dan mengharapkannya dengan kesungguhan.
Ramadlan adalah waktu yang paling tepat untuk melakukan rekonstruksi meng-up date hidup kita secara total. Kita revisi cara berfikir, sikap, mentalitas, perilaku dan gaya hidup yang memang tidak mendukung untuk meningkatkan prestasi yang meyakinkan. Ramadlan adalah bulan yang memberi peluang dan harapan, yaitu peluang dan harapan untuk hidup lebih baik, lebih terhormat, dan lebih bermartabat.
Namun demikian, akhirnya tetap kembali kepada kita, dapat memanfaatkan peluang yang dudah ditawarkan oleh bulan Ramadlan atau melewatkannya begitu saja tanpa bekas apapun. Yang pasti hanya orang-orang yang lemah dan lalai saja yang tidak mau dan mampu memaknai Ramadlan dengan amal atau karya yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Selamat datang Ramadlan.

[+/-] Selengkapnya.....