:: Ladang beramal bagi Donatur salurkan melalui Bank BNI Syari'ah Yogyakarta - Nomor : 0169782473 - a.n. Sudjito S.E. ::

Sabtu, 06 Maret 2010

Orang di Jabatan Tinggi Banyak Mengidap Hypercrisy

Studi menyebutkan semakin tinggi posisi seseorang, semakin tinggi pula kemampuannya untuk mengkritik orang lain, bukan dirinya sendiri. Peneliti menyebut gejala psikologis ini sebagai fenomena 'Hypercrisy'. Pernahkah kita menyadari mengapa semakin banyak orang yang berada di posisi atas gagal menerapkan aturan yang ia buat dan promosikan sendiri? Studi terkini mengatakan bahwa faktor kekuatan dan kejayaan yang dimiliki seseorang membuat ia lebih ketat dan kritis terhadap aksi yang dilakukan orang lain, tapi justru rendah pada aksinya sendiri. Studi yang akan dimuat dalam Journal Psychological Science ini menyebutkan bahwa ada dua fenomena psikologis yang bisa terjadi pada seseorang ketika berada dalam posisi tertentu, yakni fenomena 'hypocrisy' dan 'hypercrisy'.

Dalam sudinya, peneliti dari Ethics and Decision in Management at Northwestern University's Kellogg School memberikan simulasi moral pada partisipan.

Beberapa partisipan pura-pura bertindak sebagai seorang menteri dan beberapa lainnya bertindak sebagai rakyat sipil. Peneliti kemudian memberi beberapa pertanyaan moral pada partisipan terkait masalah aturan, pajak dan lainnya.

"Berdasarkan hasil studi kami, terlihat bahwa seseorang yang punya kekuatan dalam sebuah posisi cenderung lebih ketat, kritis dan menuntut kesempurnaan dari yang lainnya atau dikenal dengan gejala 'hypercrisy'. Sementara itu, kemampuan mengkritik terhadap dirinya sendiri justru rendah, yang dikenal sebagai gejala 'hypocrisy'," ujar Adam Galinsky yang memimpin studi seperti dikutip dari Healthday, Senin (11/1/2012).

Dari laporan yang terdapat dalam Association for Psychological Science disebutkan bahwa fenomena psikologi 'hypercrisy' memang menjadi masalah yang banyak dialami seseorang dengan posisi tinggi.

"Kekuatan dan wewenang yang dimiliki seseorang bisa menimbulkan ketidakseimbangan sosial antara keputusan publik dan perilaku pribadinya, alhasil banyak orang berposisi tinggi gagal menerapkan aturannya sendiri. Ini adalah masalah psikologis dan moral yang harus diwaspadai," kata Galinsky. (detickom)

[+/-] Selengkapnya.....

Rabu, 03 Maret 2010

30 Persen Masyarakat Indonesia Alami Gangguan Jiwa

Kasus gangguan kesehatan jiwa di Indonesia terus menunjukkan peningkatan. Jumlah masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan jiwa seperti stres, depresi, cemas berlebihan, ketakutan, hingga kasus parah shizoprenia mencapai angka 20-30 persen. Dari jumlah tersebut, 2-3 persen mengalami gangguan jiwa kronis kegilaan dan schizofrenia. Meningkatnya pasien gangguan kesehatan jiwa ini karena dipicu oleh masalah ekonomi, stres sosial, stres kerja, trauma bencana, korban kejahatan. Sayangnya masalah gangguan kesehatan jiwa belum menjadi prioritas kesehatan yang dibuat pemerintah.

Demikian dikatakan oleh pakar kesehatan jiwa, Dr. Suryo Dharmono, SpKJ(K) dalam acara media gathering: Kesehatan Jiwa Sebagai Tanggung Jawab Siapa?, di Hotel Manhattan, Jakarta, Senin (26/10/2009).

"Diperkirakan orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan ringan hingga berat jumlahnya 30 persen, lebih besar daripada sekedar angka 2 persen hingga 3 persen dalam data statistik," ujar Dr. Suryo.

Padahal bila salah satu anggota keluarga ada yang mengalami gangguan kesehatan jiwa berat maka praktis seluruh sistem kehidupan keluarga terganggu. Seperti dicontohkan Dr Suryo terhadap kasus yang dialami seorang ibu yang sebut saja bernama Nyonya A berusia 65 tahun.

Ny A divonis menderita dementia (pikun) disertai gangguan perilaku dan sudah beberapa kali tinggal di rumah sakit. Ny A tinggal bersama putra sulung, menantu, dan tiga orang cucu dengan status sosial ekonmi yang cukup baik.

Beban yang dialami Ny A ternyata juga menjadi beban berat bagi keluarganya. Sampai-sampai putranya mengungkapkan keinginannya untuk memindahkan sang ibu ke panti jompo. "Daripada kami sekeluarga ambruk bersama," tutur sang anak seperti diceritakan Dr Suryo.

Tidak mudah memang untuk bisa mendeteksi gangguan kesehatan jiwa, karena banyak masyarakat yang belum terlalu peduli dengan masalah ini. Bahkan di beberapa negara di Eropa, sebagian besar orang harus melewati waktu 5 sampai 10 tahun hingga akhirnya gangguan kesehatan jiwa tersebut terdiagnosa dengan tepat.

Dr Suryo mengatakan untuk bisa membantu proses penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa dibutuhkan kombinasi dari terapi medis, toleransi serta dukungan yang besar dari keluarga dan orang sekitarnya terhadap pasien. Namun, seringkali stigma buruk dari masyarakat terhadap orang dengan gangguan kesehatan jiwa membuat pengobatan tersebut terhambat.

"Sampai saat ini kesehatan jiwa masih menjadi prioritas bawah dan tidak termasuk dalam bagian utama praktik, kebijakan dan agenda kesehatan, sehingga banyak orang yang sulit mendapatkan pelayanan kesehatan untuk jiwa," ungkap dokter dari departemen Psikiatri FKUI/RSCM.

Dr Suryo menambahkan karena kurangnya pelayanan kesehatan jiwa, membuat orang yang memiliki gangguan kesehatan jiwa tidak mendapatkan pengobatan yang tepat. Sehingga banyak terjadi kasus pemasungan, penelantaran, gelandangan psikotik, perilaku kekerasan, penyalahgunaan obat-obatan dan kriminalitas.

Untuk dapat memperbaiki masalah ini, Dr Suro menyarankan agar rumah sakit jiwa diganti menjadi fasilitas rehabilitasi psikososial. Dia juga menilai perlunya penyediaan konsultasi di tiap puskesmas seperti yang sudah dilakukan puskesmas Tebet Jakarta dimana terdapat poli konsultasi, sehingga orang tidak merasa sungkan untuk berobat.

Di puskesmas tersebut rutin diadakan perkumpulan antara pasien dengan keluarga untuk menjelaskan masalah dan apa saja yang dubutuhkan oleh pasien. Sehingga pasien lebih merasa dihargai dan tidak mendapatkan perbedaan yang berarti dengan masyarakat lainnya. Serta dilakukan pula kunjungan ke rumah sebagai pendekatan langsung untuk mengontrol pengobatan dan kondisi dari pasien itu sendiri.

Masalah gangguan kesehatan jiwa bisa dideteksi oleh diri sendiri. Misalnya, jika mengalami sedih yang berlebihan yang membuat sulit untuk konsentrasi dan menurunkan kualitas hidup, sebaiknya segera dikonsultasikan agar tak keterusan menjadi gangguan kesehatan jiwa. (www.health.detic.com)

[+/-] Selengkapnya.....